Penanda kekhasan bahasa yang digunakan dalam karya sastra pada umumnya adalah menggunakan bahasa konotatif dan emotif. Hal ini berbeda dengan bahasa ilmiah yang denotatif dan rasional. Meskipun demikian, bahasa dalam cerita sejarah tetap mengacu kepada bahasa yang digunakan masyarakat (konvensional) agar tetap dipahami oleh pembacanya. Penggunaan bahasa konotatif dan emotif diwujudkan pengarang dengan merekayasa bahasa dengan menggunakan beragam gaya bahasa, pencitraan, dan beragam pengucapan
1. Kaidah Kebahasaan
a. Menggunakan Kalimat Bermakna Lampau
Kalimat yang bermakna lampau ditandai dengan kata-kata yang menyatakan bahwa kalimat tersebut sudah selesai. Hal tersebut ditandai dengan penggunaan kata telah, sudah, terbukti dan lain-lain.
Contoh:
- Prajurit-prajurit yang telah diperintahkan membersihkan gedung bekas asrama telah menyelesaikan tugasnya.
- Dalam banyak hal, Gajah Mada bahkan sering mengemukakan pendapat- pendapat yang tidak terduga dan membuat siapa pun yang mendengar akan terperangah, apalagi bila Gajah Mada berada di tempat berseberangan yang melawan arus atau pendapat umum dan ternyata Gajah Mada terbukti berada di pihak yang benar
b. Menggunakan Kata yang menyatakan Urutan Waktu
Kalimat tersebut menggunakan konjungsi kronologis atau temporal. Terlihat pada penggunaan kata seperti: sejak saat itu, setelah itu, mula mula, kemudian.
Contoh
c. Menggunakan kalimat Tak Langsung
Penggunaan kalimat tak langsung sebagai upaya untuk menceritakan tuturan seorang tokoh oleh pengarang. Ditandai dengan penggunaan kata mengatakan bahwa, menceritakan tentang, menurut, mengungkapkan, menanyakan, menyatakan, atau menuturkan.
Contoh
- Mengapa Sultan tak menyatakan sikap menentang usaha Portugis ...?
- Riung Samudera menyatakan bahwa ia masih bingung dengan semua penjelasan Kendit Galih tentang masalah itu.
- Menurut Sang Patih, Galeng telah periksa seluruh kamar Syahbandar clan ia telah melihat banyak botol clan benda-benda yang ia tak tahu nama clan gunanya
d. Menggunakan Kata Kerja (verba) Mental
Kata kerja ini merupakan jenis kata kerja yang mengekspresikan respons atau sikap seseorang terhadap suatu tindakan, keberadaan, atau pengalaman. Kata kerja mental juga disebut sebagai verba tingkah laku atau kata kerja behavioral yang menggambarkan perilaku atau tindakan seseorang ketika menghadapi keadaan tertentu. Kata kerja yang menyatakan sesuatu yang dipikirkan atau dirasakan oleh tokoh.
Contoh
e. Menggunakan Kata Kerja (verba) Material
Kata kerja material adalah kata kerja yang digunakan untuk menunjukkan perbuatan fisik atau peristiwa. Kata kerja material ini menunjukkan subjek melakukan sesuatu perbuatan. Karena perbuatannya bersifat material sehingga dapat dilihat atau kasad mata. Kata-kata yang digunakan seperti Berlari, menulis, melempar, tersenyum, menagis dan sebagainya.
Contoh
- Pada suatu kali, kaki kuda Demak akan mengepulkan debu di seluruh bumi Jawa.
- Dan sebagai patih, ia masih tetap memimpin pasukan gajah, maka Kala Cuwil tak juga terhapus dalam sebutan.
- Sang Adipati telah menjatuhkan titah: kapal-kapal Tuban mendapat perkenan untuk berlabuh dan berdagang di Malaka ataupun di Pasai.
f. Mengunakan Kalimat Langsung
Hal ini ditandai banyaknya kalimat langsung atau dialog.
Contoh
“Mana surat itu?”
”Ampun, Gusti Adipati, patik takut maka patik bakar:’ “Surat apa, Nyi Gede, lontar
ataukah kertas?”
“Lon… Ion… Ion… kertas barangkali, Gusti, patik tak tahu namanya. Bukan lontar:’
“Bukankah bukan hanya surat saja telah kau terima? Adakah real Peranggi pernah
kau terima juga?”
”Ada, Gusti real mas, Patik mohon ampun, karena tiada mengetahui adakah itu
real Peranggi atau bukan:’
g. Menggunakan Kata Sifat untuk Menggambarkan Tokoh, Tempat, atau Peristiwa.
Kalimat ini menggunakan kata-kata seperti prihatin, khawatir, wibawa dan lain-lain.
Contoh
- Pangeran Seda Lepen? Orang menunggu dan menunggu dengan perasaan prihatin terhadap keselamatan wanita tua itu.
- Gajah Mada mempersiapkan diri sebelum berbicara clan menebar pandangan mata menyapu wajah semua pimpinan prajurit, pimpinan dari satuan masing-masing. Dari apa yang terjadi itu terlihat betapa besar wibawa Gajah Mada, bahkan beberapa prajurit harus mengakui wibawa yang dimiliki Gajah Mada jauh lebih besar dari wibawa Jayanegara.
2. Penggunaan Makna Kias
a. Ungkapan
Selain menggunakan bahasa dengan kaidah kebahasaan seperti diuraikan di atas, novel sejarah juga banyak menggunakan kata atau frasa yang bermakna kias. Kata atau frasa bermakna kias ini digunakan penulis untuk membangkitkan imajinasi pembaca saat membacanya serta memperindah cerita.
Contoh
- Di antara para Ibu Ratu yang terpukul hatinya, hanya Ibu Ratu Rajapatni Biksuni Gayatri yang bisa berpikir sangat tenang. Terpukul hatinya artinya sangat sedih.
- Mampukah Cakradara menjadi tulang punggung mendampingi istrinya menyelenggarakan pemerintahan? Tulang punggung artinya sandaran, sumber kekuatan
- Di sebelahnya, Gajah Mada membeku. Membeku artinya diam saja.
b. Peribahasa
Selain menggunakan kata atau frasa bermakna kias, novel sejarah juga banyak menggunakan peribahasa, baik yang berbahasa daerah maupun berbahasa Indonesia. Tujuannya adalah untuk memperkuat latar waktu clan tempat kejadian cerita.
Contoh
Hidup rakyat Majapahit boleh dikata gemah ripah loh jinawi kerta tata raharja, hukum ditegakkan, keamanan negara dijaga menjadikan siapa pun merasa tenang clan tenteram hidup di bawah panji gula kelapa. Peribahasa gemah ripah loh jinawi kerta tata raharja merupakan peribahasa Jawa, yang artinya hidup makmur aman tenteram.
3. Analisis Kebahasaan Teks Cerita Sejarah
bacalahlah dengan saksama teks cerita sejarah berikut!
…. ”Apakah Tuan sudah bermaksud melawan pemerintah?” Karena aku tahu inisiatifnya takkan berjalan tanpa rnmusan dan tanda tanganku, aku hadapi dia dengan cadangan. “Kalau perintah itu diberikan padaku setelah predikat ‘tenaga ahli’ itu dicabut oleh Gubermen, aku akan lakukan dengan segera, Tuan. Kalau tidak, aku masih punya hak untuk menolak:’
Mukanya jadi kemerah-merahan karena berang. Ya, ya, kau akan kupermain mainkan, Tuan. Mari kita lihat siapa yang akan lebih tahan.
Tetapi, ia tak mendesak lagi dan pergi dengan bersungut-sungut. Notanya datang lagi, isinya bernada curiga terhadap aku sebagai simpatisan salah sebuah dari organisasi- organisasi tersebut.
Jelas dia belum kenal siapa Pangemanann. Sekali orang bernama Pangemanann ini jadi Algemeene Secrerie, takkan mudah orang dapat mengisarkan sejengkal pun dari tempatnya. Aku simpan baik-baik nota itu dan tak kujawab.
Sekarang datang waktunya ia akan mencari-cari kesalahan. Mulailah aku mengingat- ingat secara kronologis pekerjaanku sejak 1912 sampai masuk ke tahun 1915. Hanya ada satu hal yang bisa digugat: analisa dangkal tentang naskah-naskah Raden Mas Minke yang aku anggap tidak berharga. Naskah-naskah itu aku simpan di rumah untuk jadi milik pribadi. Maka analisis yang kurang bersungguh-sungguh itu mungkin memberi peluang untuk menuduh aku menyembunyikan sesuatu pendapat atau kenyataan.
Apa boleh buat, aku akan tetap berkukuh naskah-naskah itu lebih bersifat pribadi daripada umum. Dan aku katakan naskah itu telah dibakar langsung di kantor dalam tong kaleng kecil di kamarku. Walau begitu aku harus bersiap-siap.
Pidato Sneevliet mulai bermunculan dalam terjemahan Melayu, dalam terbitan koran- koran di Sala, Semarang, Madiun, Surabaya. Juga pidato-pidato Baars yang mampu berbahasa Melayu dan Jawa dengan fasih. Tapi, koran-koran Jawa Barat dan Betawi tampaknya tenang-tenang saja. Pengaruhnya mulai menjalari panggung pribumi. Tampaknya pengaruhnya dapat diibaratkan sebuah roda. Sekali orang mengenal dan menggunakannya, dia lantas jadi bagian dari kehidupan.
Dalam pertunjukkan langsung di Sala, jelas benar pengaruh ini bekerja. Lakon yang dimainkan kala itu adalah Surapati. Setelah beberapa minggu berlalu, ternyata pemain peran utama sebagai Surapati adalah orang yang itu-itu juga: Marco.
Secara khusus kusiapkan bagan peta pengaruh. Dalam waktu seminggu dapat kulihat, bahwa pengaruh itu laksana lelatu yang memercik dan meletik-letik ke kota-kota pelabuhan di Jawa Tengah dan Timur, memasuki pedalaman dan memerciki wilayah- wilayah pabrik gula-semua wilayah pabrik gula.
Dewan Hindia telah meminta pada Gubernur Jenderal, demikian yang kudengar dari omongan orang agar tenaga-tenaga kepolisian yang sudah mulai berpengalaman dalam mengawasi kegiatan politik pribumi ditetapkan kedudukannya untuk mengurusi soal ini. Kepolisian setempat yang telah mengambil inisiatif untuk pekerjaan ini supaya diberi pengukuhan, badan koordinasi supaya dibentuk untuk
membantu pembentukan seksi khusus ini. Dasar dari permintaan itu adalah kegiatan politik Pribumi yang semakin menanjak dengan semakin melonggarkan hubungan antara Kerajaan dengan Hindia. Kalaupun ada rencana mengirim bantuan militer dari Kerajaan tak mungkin bisa diharapkan dalam situasi Perang Dunia. Maka juga Angkatan Perang Hindia seyogianya diperbesar untuk dapat menghadapi segala kemungkinan.