1. Q.S. al-Isrā’/17:32
c. Kandungan Ayat
Secara umum Q.S. al-Isrā’/17:32 mengandung larangan mendekati zina serta penegasan bahwa zina merupakan perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk. Allah Swt. secara tegas memberi predikat terhadap perbuatan zina melalui ayat tersebut sebagai perbuatan yang merendahkan harkat, martabat, dan kehormatan manusia. Karena bahayanya perbuatan zina, sebagai langkah pencegahan, Allah Swt. melarang perbuatan yang mendekati atau mengarah kepada zina.
Imam Sayuṭi dalam kitabnya al-Jami’ al-Kabir menuliskan bahwa perbuatan zina dapat mengakibatkan enam dampak negatif bagi pelakunya. Tiga dampak negatif menimpa pada saat di dunia dan tiga dampak lagi akan ditimpakan kelak di akhirat.
a) Menghilangkan wibawa
Pelaku zina akan kehilangan kehormatan, martabat atau harga dirinya di masyarakat. Bahkan pezina disebut sebagai sampah masyarakat yang telah mengotori lingkungannya.
b) Mengakibatkan kefakiran
Perbuatan zina juga akan mengakibatkan pelakunya menjadi miskin sebab ia akan selalu mengejar kepuasan nafsu. Pelaku harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit hanya untuk memenuhi nafsunya.
c) Mengurangi umur
Perbuatan zina tersebut juga akan mengakibatkan umur pelakunya berkurang lantaran akan terserang penyakit yang dapat mengakibatkan kematian. Saat ini banyak sekali penyakit berbahaya yang diakibatkan oleh perilaku seks bebas, seperti HIV/AIDS, infeksi saluran kelamin, dan sebagainya.
a) Mendapat murka dari Allah Swt.
Perbuatan zina merupakan salah satu dosa besar, sehingga para pelakunya akan mendapat murka dari Allah Swt. kelak di akhirat.
b) Ĥisab yang jelek (banyak dosa)
Pada saat hari perhitungan amal (yaumul ḥisab), para pelaku zina akan menyesal karena mereka akan diperlihatkan betapa besarnya dosa akibat perbuatan zina yang dia lakukan semasa hidup di dunia. Penyesalan hanya tinggal penyesalan, semuanya sudah terlanjur dilakukan.
c) Siksaan di neraka
Para pelaku perbuatan zina akan mendapatkan siksa yang berat dan hina kelak di neraka. Dikisahkan pada saat Rasulullah saw. melakukan Isra’ dan Mi’raj beliau diperlihatkan ada sekelompok orang yang menghadapi daging segar, tetapi mereka lebih suka memakan daging yang amat busuk daripada daging segar. Itulah siksaan dan kehinaan bagi pelaku zina. Mereka berselingkuh padahal mereka mempunyai istri atau suami yang sah.
Kemudian, Rasulullah saw. juga diperlihatkan ada satu kaum yang tubuh mereka sangat besar, namun bau tubuhnya sangat busuk, menjijikkan saat dipandang, dan bau mereka seperti bau tempat pembuangan kotoran (comberan). Rasul kemudian bertanya, ‘Siapakah mereka?’ Dua Malaikat yang mendampingi beliau menjawab, “Mereka adalah pezina laki-laki dan perempuan.”
2. Q.S. an-Nûr/24:2
a. Lafal Ayat dan Artinya
اَلزَّانِيَةُ وَالزَّانِيْ فَاجْلِدُوْا كُلَّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ ۖوَّلَا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِيْ دِيْنِ اللّٰهِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۚ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَاۤىِٕفَةٌ مِّنَ الْمُؤْمِنِيْنَ
“Pezina perempuan dan pezina laki-laki, deralah masing-masing dari keduanya seratus kali, dan janganlah rasa belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama (hukum) Allah Swt., jika kamu beriman kepada Allah Swt. dan hari kemudian; dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sebagian orang-orang yang beriman.”
b. Hukum Tajwid
c. Kandungan Ayat
Kandungan Q.S. an-Nûr/24:2 sebagai berikut.
- Perintah Allah Swt. untuk mendera pezina perempuan dan pezina laki- laki masing-masing seratus kali.
- Orang yang beriman dilarang berbelas kasihan kepada keduanya untuk melaksanakan hukum Allah Swt.
- Pelaksanaan hukuman tersebut disaksikan oleh sebagian orang-orang yang beriman.
Dalam pandangan Islam, zina merupakan perbuatan kriminal (jarimah) yang dikategorikan hukuman ĥudud, yakni sebuah jenis hukuman atas perbuatan maksiat yang menjadi hak Allah Swt. Tidak ada seorang pun yang berhak memaafkan kemaksiatan zina tersebut, baik oleh penguasa atau pihak berkaitan dengannya. Berdasarkan Q.S. an-Nûr/24:2, pelaku perzinaan, baik laki-laki maupun perempuan harus dihukum dera (dicambuk) sebanyak 100 kali. Namun, jika pelaku perzinaan itu sudah muḥșan (pernah menikah), sebagaimana ketentuan hadis Nabi saw maka diterapkan hukuman rajam.
Dalam konteks ini yang memiliki hak untuk menerapkan hukuman tersebut hanya khalifah (kepala negara) atau orang-orang yang ditugasi olehnya. Ketentuan ini berlaku bagi negeri yang menerapkan syari’at Islam sebagai hukum positif dalam suatu negara. Sebelum memutuskan hukuman bagi pelaku zina, maka ada empat hal yang dapat dijadikan sebagai bukti, yaitu (1) saksi, (2) sumpah, (3) pengakuan, dan (4) dokumen atau bukti tulisan. Dalam kasus perzinaan, pembuktian perzinaan ada dua, yakni saksi yang berjumlah empat orang dan pengakuan pelaku.
Pengakuan pelaku, didasarkan beberapa hadis Nabi saw. Ma’iz bin al- Aslami, sahabat Rasulullah saw. dan seorang wanita dari al-Gamidiyyah dijatuhi hukuman rajam ketika keduanya mengaku telah berzina. Di samping kedua bukti tersebut, berdasarkan Q.S. an-Nûr/24:6-10, ada hukum khusus bagi suami yang menuduh istrinya berzina. Menurut ketetapan ayat tersebut seorang suami yang menuduh istrinya berzina sementara ia tidak dapat mendatangkan empat orang saksi, maka ia dapat menggunakan sumpah sebagai buktinya.
Jika ia berani bersumpah sebanyak empat kali yang menyatakan bahwa dia termasuk orang-orang yang benar, dan pada sumpah kelima ia menyatakan bahwa laknat Allah Swt. atas dirinya jika ia termasuk yang berdusta, maka ucapan sumpah itu dapat mengharuskan istrinya dijatuhi hukuman rajam. Namun demikian, jika istrinya juga berani bersumpah sebanyak empat kali yang isinya bahwa suaminya termasuk orang-orang yang berdusta, dan pada sumpah kelima ia menyatakan bahwa laknat Allah Swt.
atas dirinya jika suaminya termasuk orang-orang yang benar, dapat menghindarkan dirinya dari hukuman rajam. Jika hal ini terjadi, keduanya dipisahkan dari status suami istri, dan tidak boleh menikah selamanya. Inilah yang dikenal dengan li’an.
Tuduhan perzinahan harus dapat dibuktikan dengan bukti-bukti yang kuat, akurat, dan sah. Tidak boleh menuduh seseorang melakukan zina tanpa dapat mendatangkan empat orang saksi dan bukti yang kuat.
3. Hadis tentang Larangan Mendekati Zina
“Barangsiapa beriman kepada Allah Swt. dan hari akhir maka janganlah berdua-duaan dengan wanita yang tidak bersama mahramnya karena yang ketiga adalah setan.” (H.R. Ahmad)