1. Prinsip-Prinsip Asuransi Syari’ah

Asuransi berasal dari bahasa Belanda, assurantie yang artinya pertanggungan. Dalam bahasa Arab dikenal dengan at-Ta’min yang berarti pertanggungan, perlindungan, keamanan, ketenangan atau bebas dari perasaan takut. Si penanggung (assuradeur) disebut mu’ammin dan tertanggung (geasrurrerde) disebut musta’min.

Dalam Islam, asuransi merupakan bagian dari muamalah. Dasar hukum asuransi menurut fiqh Islam adalah boleh (jaiz) dengan suatu ketentuan produk asuransi tersebut harus sesuai dengan ketentuan hukum Islam. Pada umumnya, para ulama berpendapat asuransi yang berdasarkan syari’ah dibolehkan dan asuransi konvensional haram hukumnya.

Asuransi dalam ajaran Islam merupakan salah satu upaya seorang muslim yang didasarkan nilai tauhid. Setiap manusia menyadari bahwa sesungguhnya setiap jiwa tidak memiliki daya apa pun ketika menerima musibah dari Allah Swt., baik berupa kematian, kecelakaan, bencana alam maupun takdir buruk yang lain. Untuk menghadapi berbagai musibah tersebut, ada beberapa cara untuk menghadapinya. Pertama, menanggungnya sendiri. Kedua, mengalihkan risiko ke pihak lain. Ketiga, mengelolanya bersama-sama.

Dalam ajaran Islam, musibah bukanlah permasalahan individual, melainkan masalah kelompok walaupun musibah ini hanya menimpa individu tertentu. Apalagi jika musibah itu mengenai masyarakat luas seperti gempa bumi atau banjir. Berdasarkan ajaran inilah, tujuan asuransi sangat sesuai dengan semangat ajaran tersebut.

Allah Swt. menegaskan hal ini dalam beberapa ayat, di antaranya berikut ini:

وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوٰىۖ وَلَا تَعَاوَنُوْا عَلَى الْاِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۖوَاتَّقُوا اللّٰهَ

Artinya: “…dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah Swt.,…” (Q.S. al-Maidah/5: 2)

Banyak pula hadis Rasulullah saw. yang memerintahkan umat Islam untuk saling melindungi saudaranya dalam menghadapi kesusahan. Berdasarkan ayat al-Qur’an dan riwayat hadis, dapat dipahami bahwa musibah ataupun risiko kerugian akibat musibah wajib ditanggung bersama. Setiap individu bukan menanggungnya sendiri-sendiri dan tidak pula dialihkan ke pihak lain. Prinsip menanggung musibah secara bersama-sama inilah yang sesungguhnya esensi dari asuransi syari’ah.

 

2. Perbedaan Asuransi Syari’ah dan Asuransi Konvensional

Prinsip asuransi syari’ah tersebut berbeda dengan yang berlaku di sistem asuransi konvensional, yang menggunakan prinsip transfer risiko. Seseorang membayar sejumlah premi untuk mengalihkan risiko yang tidak mampu dia pikul kepada perusahaan asuransi. Dengan kata lain, telah terjadi ‘jual-beli’ atas risiko kerugian yang belum pasti terjadi. Di sinilah cacat perjanjian asuransi konvensional. Sebab akad dalam Islam mensyaratkan adanya sesuatu yang bersifat pasti, apakah itu berbentuk barang ataupun jasa.

Perbedaan yang lain, pada asuransi konvensional dikenal dana hangus, di mana peserta tidak dapat melanjutkan pembayaran premi ketika ingin mengundurkan diri sebelum masa jatuh tempo. Dalam konsep asuransi syar³’ah, mekanismenya tidak mengenal dana hangus. Peserta yang baru masuk sekalipun, karena satu dan lain hal ingin mengundurkan diri, dana atau premi yang sebelumnya sudah dibayarkan dapat diambil kembali. Apabila sebagian kecil dana atau preminya sudah diniatkan untuk dana tabarru’ (sumbangan), maka tidak dapat diambil lagi.

Setidaknya, ada manfaat yang bisa diambil kaum muslimin dengan terlibat dalam asuransi syari’ah. Manfaat yang di ambil di antaranya bisa menjadi alternatif perlindungan yang sesuai dengan hukum Islam. Produk ini juga bisa menjadi pilihan bagi pemeluk agama lain yang memandang konsep syariah lebih adil. Syariah merupakan sebuah prinsip yang bersifat universal sehingga semua pemeluk agama dapat menggunakannya.

Untuk pengaturan asuransi di Indonesia dapat dipedomani Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No. 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syari’ah.

Leave a Reply