1. Konsep Drama dan Teater
Kata “drama‟ masuk ke dalam perbendaharaan bahasa Indonesia berasal dan dibawa oleh kebudayaan Barat (Oemaryati, 1971: 14-15). Di tanah asal kelahiran drama, yaitu Yunani, drama timbul dari suatu ritual pemujaan terhadap para dewa. Kata “drama‟ berasal dari kata dran (bahasa Yunani) yang menyiratkan makna to do atau to act (Baranger, 1994: 4).
Sementara itu, drama terus mengalami perkembangan. Pada awalnya hanya dilakukan di lapangan terbuka. Para penonton duduk melingkar atau setengah lingkaran, dan upacara dilakukan di tengah lingkaran tersebut. Makin lama jumlah lingkaran makin luas, upacara-upacara juga semakin lebih besar, ini berarti membutuhkan tempat yang lebih luas. Tempat yang luas yang dijadikan semacam auditorium inilah yang di Yunani saat itu disebut theatron. Theatron yang diartikan sebagai a place for seeing atau, tempat tontonan itu (Baranger, 1994; Yudiaryani, 2002: 1) berbentuk bangku-bangku yang berputar setengah lingkaran dan mendaki ke arah lereng bukit yang berfungsi sebagai tempat duduk penonton ketika drama Yunani klasik berlangsung. Dengan demikian kata teater muncul sesudah kata drama. Jika melihat asal-usul katanya, kata drama dan teater jelas berbeda artinya, tetapi saling mengait. Yang satu perbuatan yang dapat ditonton, yang lainnya tempat untuk menonton perbuatan yang dapat ditonton itu.
Dalam perkembangan selanjutnya, pergeseran-pergeseran mulai terjadi. Berangkat dari sebuah upacara keagamaan menjadi seni berbicara yang enak ditonton. Intonasi untuk memperoleh efektivitas komunikasi mulai dipertimbangkan, sehingga melahirkan dua kecenderungan besar. Di satu pihak menekankan seni berbicara yang sarat dengan musik, dan nyanyian sebagai elemen utamanya, di pihak lain muncul pula bentuk seni berbicara yang hanya mengandalkan dialog sebagai elemen utamanya. Yang pertama hingga sekarang kita sebut sebagai opera. Sementara yang kedua kelak kita kenal sebagai drama. Dua kecenderungan besar itu terus berkembang. Kata drama terus bertahan artinya, tetapi kata teater melebar artinya. Kata teater masih tetap diartikan sebagai susunan tempat pementasan berlangsung, tetapi juga dapat dipergunakan untuk menunjukkan sebuah kejadian atau peristiwa yang sedang berlangsung. Dengan memakai kata teater, kita mampu mengetahui seluruh warisan budaya drama sebagai jenis sastra termasuk di dalamnya bentuk pementasan pantomim, pertunjukan rakyat, wayang kulit, wayang golek, monolog, dan kabaret (Judiaryani, 2002: 2). Bahkan dalam masa sekarang kata teater pemakaiannya lebih luas lagi. Dapat dipergunakan untuk menyebut pertunjukan atau tempat-tempat yang terkait dengan film, radio, dan televisi. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa istilah „drama‟ lebih sempit penggunaannya daripada istilah „teater‟. Dalam pengertiannya yang paling umum drama adalah setiap karya yang dibuat untuk dipentaskan di atas panggung oleh para aktor yang menggambarkan kisah hidup dan kehidupan manusia yang diceritakan dengan gerak dan laku. Sementara teater adalah sebuah istilah lain untuk “drama” dalam pengertian yang lebih luas, termasuk pentas, penonton, dan gedung pertunjukan. Atau seperti yang dikatakan Elam (1984: 2) dalam The Semiotics of Theatre and Drama, kata „drama‟ diartikannya sebagai that mode of fiction designed for stage representation and constructed according to paticular dramatic convention, sementara kata “theatre‟ diartikannya sebagai, with the production and communication of meaning in the performance itself and with the systems under lying it. Maka, dalam modul ini kata drama akan dipergunakan untuk menyebut pementasan yang menggunakan naskah, sementara kata teater dipergunakan lebih luas, termasuk untuk pementasan drama tanpa naskah seperti pada teater tradisional, maupun pementasan yang menggunakan naskah seperti dalam drama Indonesia modern.
Kata drama sering bersinonim dengan sandiwara (Harymawan, 1988: 2-3). Menurutnya, kata sandiwara dipakai oleh P.K.G. Mangkunegara VII untuk menterjemahkan kata toneel (bahasa Belanda), “sandi‟ artinya rahasia, dan “wara‟ dari “warah‟ pengajaran. Oleh karena itu, kata “sandiwara‟ pada awalnya diartikan sebagai pengajaran yang dilakukan dengan rahasia. Kata “rahasia‟ diperjelas maksudnya oleh almarhum Ki Hadjar Dewantara sebagai “lambang‟. Dengan demikian kata sandiwara dimaksudkan sebagai pengajaran yang dilakukan dengan lambang. Dengan kata lain apabila kita menonton drama/teater tradisional atau sandiwara diharapkan akan memperoleh pengajaran secara tidak langsung. Ajaran yang diperoleh masih berwujud lambang yang harus diartikan oleh para penonton.
Akan tetapi, dalam perkembangannya kata sandiwara memperoleh arti negatif sebagai kejadian-kejadian yang hanya dipertunjukkan untuk mengelabui mata alias tidak sungguh-sungguh (KBBI, 1988: 779). Apabila ada seorang teman mengatakan, “Jangan main sandiwara, kamu!”, ini jelas teman kita marah karena kita menutup-nutupi sesuatu yang seharusnya transparan. Di samping itu, istilah sandiwara hanya terbatas pada para pemakai bahasa Jawa, misalnya untuk menyebut sandiwara radio, atau drama-drama tradisional seperti ketoprak dalam bahasa Jawa yang diudarakan secara periodik oleh stasiun radio khususnya di Yogyakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dalam bahasa Indonesia istilah sandiwara kurang begitu populer dibanding dengan istilah drama.
2. Hakikat dan Karakteristik Drama
Pada materi sebelumnya kalian telah mempelajari pengertian drama yang dirunut dari asal-usul katanya. Pertanyaannya, apa sebenarnya drama itu. Atau lebih konkret, seperti apakah drama itu? Untuk itu, sebelum kita menyimpulkan apakah hakikat drama itu, silakan kalian baca penggalan teks drama di bawah ini.
INSPEKSI
Fransiskus Assisi Woddy Satyadarma
Para Pelaku :
- Ihnas
- Yunus
- Hajir
- Tumeles
- Karman
(Panggung merupakan sebuah ruangan yang luas, dengan beberapa kursi dan meja: sehingga mirip dengan sebuah ruangan tamu dengan beberapa pasang zitje. Sebuah rak buku tampak di sana. Tentu saja penuh dengan buku-buku. Pada dasarnya ruangan itu memang kamar tamu sebuah asrama, tapi pada jam- jam tertentu juga menjadi ruangan rekreasi, penghuni asrama itu. Waktu itu sore hari sekitar pukul 16.27 WIB. Yunus masuk ke panggung berbaju biru muda, mandi keringat, dengan tangan memegang sebotol minuman, terengah- engah, dan duduk di kursi, membelakangi penonton. Seorang kawannya lagi, Karman, masuk mau mengambil buku tetapi melihat Yunus, berhenti sejenak, memandangi Yunus, lalu mengambil buku kemudian exit. Selesai minum, Yunus lalu meletakkan botol, merentangkan tangannya, lalu membuka bajunya yang basah kuyup, sehingga ia tinggal bersinglet, lalu memandangi baju yang basah kuyup itu, dan menaruhnya di sandaran kursi. Persis selesai Yunus membenahi bajunya, Ihnas masuk.)
Ihnas : Lha, lagi lagi….
Yunus : (Memotong sebelum kalimat Ihnas selesai) Lagi-lagi liku-liku.
Ihnas : Kalau Mas Hajir melihat kau begitu ceroboh, tahu rasa kau.
Yunus : Hah, rasa apa saja yang perlu kuketahui?
Ihnas : Rasa garam, tahu?
Yunus : Garam?
Ihnas : Ya, garam produksi sendiri itu.
Yunus : Ah, yang benar aja kamu, masak garam suruh rasa. Gimana sih kau, Nas?
Ihnas : Ya, garam keringatmu itu, Goblok!
Yunus : Kau ini ngomong apa. Masak Mas Hajir suruh aku mencicipi keringatku sendiri.
Ihnas : Habis kalau nggak, siapa suruh nyicip? Aku?
Yunus : Maksudmu gimana, sih, Nas?
Ihnas : Ini kan kamar tamu. Kalau kau naruh baju di sini kan gila.
Kalau si Mincuk kemari gimana?
Yunus : Ooooo ini to soalnya. Lantas mesti ….
Ihnas : (Memotong) Taruh di kamar sendiri sana.Terus mandi. Jangan begitu, dong kau.
Yunus : Perkara naruh di kamar kan urusan gua sendiri. Demikian pula soal
mandi. (Kembali duduk dan minum minuman dari botol)
Ihnas : Kau mulai keras kepala, ya?Yunus : Apa kepalamu nggak keras? Coba aku pegang sini.
Ihnas : Nus!
Yunus : Apa?
Ihnas : Ini peringatanku demi kebaikanmu. Ambil baju itu dan bawa ke kamarmu.
Yunus : Sejak kapan kau diberi mandat memberi peringatan pada aku?
Ihnas : Aku senior di….
Yunus : Perkara senior kan tidak ada sangkut pautnya dengan baju.
Ihnas : Kau taat tidak?
Yunus : Lagaknya.
Ihnas : Taat atau tidak? Jawab!
Yunus : (Diam minum)
Ihnas : Jawab!
Yunus : (Masih minum)
Ihnas : (Keras sekali) Jawab!
Yunus : (Mulutnya masih penuh minuman dan menjawab) Yaaaa! (Minuman
tumpah ke lantai dari mulut)
Ihnas : Aduuuuuh … ini apa ? (Menunjuk tumpahan minuman)
…………………………………………………………………………………………………………….
(Rumadi, A (ed.).1988. Kumpulan Drama Remaja, hlm. 91-92)
Apa yang membedakannya teks drama tersebut di atas dengan teks cerita rekaan seperti cerpen dan novel? Masih ingatkah kalian bahwa menurut Aristoteles secara garis besar karya sastra dibedakan ke dalam tiga pokok genre (dari bahasa Prancis, ucapkan zyanre), yaitu: lirik, epik, dan dramatik; atau lebih mudahnya yang berbentuk puisi, prosa rekaan, dan drama? Kalian tentu saja masih ingat bahwa dalam novel Belenggu karya Armijn Pane, atau Burung- Burung Manyar karya Y.B. Mangunwijaya, atau Larung karya Ayu Utami, pengarangnya menceritakan kisahannya dengan melibatkan tokoh- tokoh Tono, Tini, Yah dalam Belenggu, atau tokoh Teto dan Larasati dalam Burung-Burung Manyar lewat kombinasi antara dialog dan narasi. Sementara itu, dalam teks drama di atas, paparan kisahannya apakah seperti itu?
Apa yang lebih mendominasi dalam teks drama, dialog atau narasi? Dialog. Tepat jawaban kalian . Dialog (sering disebut sebagai teks utama) antara Yunus dan Ihnas mendominasi penggalan drama berjudul Inspeksi karya F.A. Woddy Satyadarma (nama samaran Bakdi Soemanto). Pembaca ikut dibuat jengkel atas jawaban-jawaban Yunus yang terasa seenak perutnya sendiri, yang menyiratkan konflik tajam antarmereka berdua. Sementara narasi yang cukup dominan dalam novel, dalam teks drama narasi hanya terbatas berupa petunjuk pementasan yang disebut sebagai teks sampingan. Lewat petunjuk pementasan yang kebanyakan dicetak miring itulah pengarang naskah drama memberi arahan penafsiran agar tidak terlalu melenceng dari apa yang sebenarnya dikehendakinya.
Di samping itu, dibandingkan dengan novel, jumlah tokoh-tokohnya jauh lebih sedikit daripada novel. Bisa Anda bayangkan jika dalam panggung muncul puluhan tokoh yang sekaligus tampil berkelebatan di sana. Anda bisa pusing. Dari sudut latar juga lebih terbatas dibanding dengan novel. Dalam drama latar harus dapat divisualkan. Apalagi untuk pergantian latar, pementasan membutuhkan waktu dan peralatan yang tidak sedikit. Itu artinya juga membutuhkan biaya dan tenaga. Sementara dalam novel, pengarang dapat sebebas-bebasnya melukiskan latar kejadian sedetail dan seluas mungkin.
Agar drama yang dipentaskan dapat ditonton dengan runtut dan enak diikuti, mirip dengan novel, drama pun dibagi-bagi dalam babak dan adegan- adegan. Babak merupakan bagian yang paling besar dalam naskah drama, dan biasanya dibagi-bagi dalam banyak adegan. Sementara itu, adegan adalah suatu unit lakuan drama yang mengaitkan hukum kausalitas. Tentu, bentuk visual drama tidak harus bernomor, seperti contoh lakon tersebut di atas. Ditulis bernomor, salah satu alasannya adalah untuk memudahkan pada saat berlatih. Bentuk visual teks drama kebanyakan, seperti contoh penggalan drama berjudul “Sampek & Engtay” karya N. Riantiarno (2004, 97-99), berikut ini.
…………………………………………………………………………………………………………….
GURU : (MEMUKUL BEL BERKALI-KALI DAN BARU BERHENTI KETIKA MURID-MURID SUDAH BERKUMPUL SEMUA. DIA MENATAP MURIDNYA SATU DEMI SATU) Siapa di antara kalian yang kencing sambil berdiri? (SEMUA MURID MENGACUNGKAN TANGAN. KECUALI ENGTAY)
GURU : Sejak kapan kalian kencing sambil berdiri?
MURID-MURID : Sejak kami kecil, Guru.
GURU : Itu menyalahi peraturan. Apa bunyi peraturan tentang kencing?MURID-MURID : Seingat saya, sekolah kita tidak pernah membuat peraturan tentang kencing, Guru. Yang ada hanya peraturan yang bunyinya: Jaga Kebersihan.
GURU : (MEMBENTAK) Jaga kebersihan! Jaga kebersihan! Bunyi peraturan itu bisa berlaku untuk segala perkara. Paham?
MURID-MURID : (KETAKUTAN) Paham, Guru.
GURU : Tapi coba lihat sekarang di tembok WC dan kamar mandi. Hitamnya, kotornya. Bagaimana cara kalian menjaga kebersihan? Dengan cara mengotorinya? Itu akibat kalian kencing sambil berdiri.
ENGTAY : (MENGACUNGKAN TANGAN)
GURU : Kenapa Engtay? Mau omong apa? Kamu satu-satunya yang tadi tidak tergolong kepada para kencing-berdiriwan ini. Apa kamu kencing sambil berjongkok? Atau sambil tiduran?
ENGTAY : (MENAHAN SENYUM) Maaf, Guru. Saya kencing sambil jongkok sejak saya kecil.
ENGTAY : Sudah kebiasaan. Kencing sambil berdiri, bukan saja menyalahi peraturan sekolah kita, tapi juga melanggar ujar kitab-kitab yang bunyinya: “Jongkoklah Waktu Buang Air Kecil dan Besar, Supaya Kotoran Tidak Akan Berceceran”.
…………………………………………………………………………………………………………….
Selain cara penuturan dan bentuk visualnya, ciri khas apa yang terdapat dalam drama? Dari sepenggal kutipan drama “Sampek Engtay” tersebut di atas, tatkala kita membacanya tergambar di depan kita ulah seorang Guru yang cukup galak sedang menanyakan kepada murid-muridnya tentang bagaimana mereka kencing sehingga WC dan kamar mandi sangat kotor. Ada gerak seperti mengacungkan tangan, membentak, dan ketakutan. Dengan demikian, penulis lakon membeberkan kisahannya tak cukup jika hanya dibaca. Dibutuhkan gerak. Itulah yang disebut action. Pementasan di panggung. Penulis lakon
membayangkan action para aktornya dalam bentuk dialog. Dan dialoglah bagian paling penting dalam drama. Lewat dialoglah kita bisa melacak emosi, pemikiran, karakterisasi, yang kesemuanya itu terhidang di panggung lewat action alias gerak. Oleh karena itu, tidaklah berlebihan apabila seorang pakar drama kenamaan Moulton menyebut drama sebagai life presented in action, alias drama adalah hidup yang ditampilkan dalam gerak. Dengan demikian, secara lebih ringkas drama adalah salah satu bagian dari genre sastra yang menggambarkan kehidupan dengan mengemukakan tikaian dan emosi lewat lakuan dan dialog, yang dirancang untuk pementasan di panggung (Sudjiman, 1990).
3. Jenis-Jenis Drama
Pembagian jenis drama adalah sebagai berikut:
a) Berdasarkan penyajiannya:
- Tragedi yaitu sebuah drama yang penuh dengan kesedihan
- Komedi yaitu sebuah drama yang menghibur dan penuh dengan kelucuan
- Tragekomedi yaitu sebuah drama yang didalamnya terdapat perpaduan antara komedi dan tragedy
- Opera yaitu sebuah drama yang percakapan atau dialognya dinyanyikan
- Melodrama yaitu sebuah drama yang dialognya diucapkan dengan diiringi musik atau melodi
- Farce yaitu sebuah drama yang nyaris serupa dengan dagelan, namun tidak sepenuhnya dagelan
- Tablo yaitu sebuah drama yang lebih mengutamakan gerak dimana para pelakon drama tidak mengucapkan dialignya tetapi cukup dengan melakukan gerakan-gerakan
- Sendratari yaitu jenis drama yang menggabungkan antara seni tari dan seni drama
b) Berdasarkan sarana pementasannya
- Drama oanggung yakni jenis drama yang dimainkan diatas panggung
- Drama radio yakni sebuah drama yang tidak bisa diraba dan dilihat, namun bisa didengarkan oleh para penikmat drama
- Drama televisi yakni jenis drama yang nyaris sama dengan drama panggung, namun perbedaannya hanya tidak bisa diraba.
- Drama film yakni jenis drama yang menggunakan layar lebar yang biasanya dipertunjukkan di bioskop-bioskop
- Drama wayang yakni jenis drama yang diiringi dengan pagelaran wayang
- Drama boneka yakni sebuah jenis drama dimana para tokohnya diilustrasikan dengan boneka dan dimainkan oleh beberapa orang.
c) Berdasarkan ada dan tidaknya naskah drama
- Drama modern yaitu sebuah jenis drama yang menggunakan naskah dan drama ini bertolak dari hasil sastra yang tersusun untuk dipentaskan
- Drama tradisional atau klasik yaitu jenis drama yang tidak menggunakan naskah drama dan drama ini bersumber dari tradisi suatu masyarakat yang sifatnya improvisatoris dan spontan.
Anak-anak yang hebat, kalian memang luar biasa telah membaca uraian materi dengan cermat dan penuh antusias. Berdasarkan uraian materi tersebut kalian diharapkan semakin memahami hakikat drama dan teater, mengenal berbagai jenis drama dari berbagai aspek penggolongannya dan semakin memahami karakteristik drama. Untuk selanjutnya kalian dapat menganalisis isi dan kebahasaan teks drama atau drama yang dipentaskan.