Minat Baca Anak Indonesia

Membaca buku itu penting! Semua orang tahu dan pasti setuju. Oleh sebab itu, menjadi beralasan mengenalkan buku dan kegiatan membaca pada anak-anak. Dengan kebiasaan dan kecintaan membaca sejak dini, mereka menjadi lebih mudah mempelajari apa pun, termasuk pelajaran di sekolah yang berefek pada meningkatnya prestasi akademik.

Pertanyaan pentingnya adalah: bagaimana minat baca anak Indonesia? Berdasarkan riset lima tahunan Progress in International Reading Literacy Study (PIRLS), yang melibatkan siswa SD, Indonesia berada pada posisi 36 dari 40 negara yang dijadikan sampel. Indonesia hanya lebih baik dari Qatar, Kuwait, Maka. dan Afrika Selatan.

Sedikitnya ada tiga realitas di balik temuan PIRLS tersebut. Pertama, jumlah perpustakaan SD di Indonesia sangat minim. Mengapa demikian? Karena mayoritas anak kenal dan mulai membaca buku dari perpustakaan sekolah, meskipun saat ini TBM sudah bertebaran di mana-mana.

Berdasarkan data terakhir, terdapat 169.031 SD dan Madrasah Ibtidaiyah di Indonesia. Artinya, jika tiap sekolah memiliki satu perpustakaan, seperti yang diamanahkan oleh UU Nomor 43 tahun 2007 tentang Perpustakaan, ada 169.031 perpustakaan.Tentu anak-anak akan memperoleh kemudahan mengakses bahan bacaan. Namun, yang terjadi tidak begitu. Di Indonesia, SD yang memiliki perpustakaan sekitar 1 persen lebih sedikit dari data jumlah sekolah. Persentase sekecil itu pun belum ditilik lebih dalam. Jika iya, saya pastikan angkanya akan semakin menciut. Misalnya, seberapa banyak koleksi buku yang dimiliki? Apakah keragaman bacaan yang dimiliki sudah memenuhi harapan pembaca? Bagaimana kondisi sarana (bangunan) dan prasana perpustakaan (misalnya, buku dan rak). Belum lagi jika pertanyaan kunci ini dilontarkan: yang mengelola perpustakaan adalah pustakawan atau sekadar guru piket yang dikaryakan sehingga sekadar menjadi tempat buku-buku kumal dan berdebu ditumpuk, tanpa ada program-program kreatif yang ditujukan untuk memasarkan perpustakaan?

Realitas kedua dari fakta rendahnya minat baca anak Indonesia adalah tidak adanya integrasi yang nyata, jelas, dan tegas antara mata pelajaran yang diberikan dengan kewajiban siswa untuk membaca. Siswa tidak diberi keleluasaan dan kebebasan mencari sumber pembelajaran di luar buku pegangan dari guru.

Satu contoh sederhana, kita tidak memiliki standar minimal mengenai bacaan wajib yang harus dikhatamkan siswa di tiap jenjang pendidikan, entah berdasarkan jumlah maupun judul tertentu. Apalagi pengecekan tingkat kemajuan bacaan siswa secara bertahap dan rutin, baik yang menyangkut bacaan yang diwajibkan, bacaan yang dianjurkan, dan bacaan menyangkut pengetahuan umum.

Realitas ketiga, rendahnya minat baca anak Indonesia karena pengalaman pra-membaca dan membaca, atau berkenalan dengan buku, yang dialami anak kurang menyenangkan-jika enggan menyebutnya buruk. Buku, sebagai media yang lazim digunakan untuk mengukur tingkat minat baca, dikenalkan kepada anak-anak dengan cara yang tidak menarik. Bahkan, menimbulkan trauma.

Biasanya, buku yang pertama kali diperkenalkan kepada anak-anak adalah buku pelajaran yang tebal menurut ukuran mereka. Isinya melulu tulisan, tidak bergambar, dan hurufnya pun kecilTentu saja keharusan membaca buku seperti itu laksana menyuruh anak membenci buku secara berj amaah.

Namun, giliran anak-anak tengah mendapatkan keasyikan membaca buku dalam bentuk komik atau cergam, orangtua buru-buru melarang keras, disertai semburan kata ancaman. Orangtua memfatwakan anak-anak bahwa membaca komik dan cergam hanya akan membuat mereka malas belajar dan bodoh. Padahal , komik bisa menjadi pintu masuk untuk mengembangkan imajinasi serta ragam bacaan anak ketingkat yang lebih luas. Apa yang dibaca sesungguhnya mengikuti perkembangan wawaan, cara berpikir, dan berkebutuhan mereka.

Di luar itu, promosi buruk orangtua tentang buku juga turut menyukseskan rendahnya minat baca anak. Promosi buruk tersebut berupa ketiadaan bahan bacaan di rumah serta minusnya keledanan dari orangtua.

This Post Has 2 Comments

Leave a Reply