Kakek

Rumah kakek nenek saya hanya satu blok dari rumah saya di kota New York. Waktu itu kami masih kecil. Kakek sering pada malam hari mengajak saya jalan-jalan ketika musim panas tiba.

Pada suatu malam, ketika saya dan kakek berjalan bersama, saya bertanya kepadanya tentang apa perbedaan keadaan sekarang dengan dulu. Kakek menjawab bahwa pada zaman dulu ketika dia masih kecil, jamban-jamban berada di luar rumah, bukan seperti sekarang yang berupa toilet mengkilap. Dulu semua orang menggunakan kuda, bukan mobil. Orang- orang berkomunikasi jarak jauh dengan surat, tidak seperti sekaan Vang bisa dilakukan dengan telepon. Zaman dulu juga masih menggunakan lilin, di mana sekarang, listrik sudah ada di mana-mana.

Saya mendengarkannya dan membayangkan semua keadaan sulit tersebut, tetapi tetap tidak bisa terbayang. Lalu saya menanyakan lagi kepadanya satu hai, ”Kakek, apa hal paling susah yang pernah terjadi dalam hidup kakek?”

Kakek menghentikan iangkahnya. Dia memandang langit dan tidak berkata apa-apa selama beberapa saat. Lalu dia berlutut, menggenggam kedua tangan saya, dan dengan berlinangan air mata, dia mengatakan, “Ketika ibumu dan adik-adiknya masih kecil-kecil. Nenekmu sakit parah. Untuk bisa sembuh, dia harus dirawat di satu tempat bernama Sanatorium. Dan itu butuh waktu yang lama sekali.”

“Tidak ada orang yang bisa merawat ibu dan paman-pamanmu itu kalau kakek sedang pergi kerja, jadi mereka kakek titipkan di panti asuhan. Para biarawati membantu kakek mengurusi anak-anakku itu, sementara kakek harus melakukan dua atau tiga bekerjaan. Kakek sangat butuh uang agar nenek bisa sembuh dan semua orang bisa berkumpul lagi di rumah, bersama.”

“Yang paling sulit dalam hidup kakek adalah,” lanjut kakek masih dengan air matanya yang berlinang, ”kakek harus menaruh mereka di panti asuhan. Setiap minggu, kakek selalu mengunjungi mereka. Tetapi para biarawati tidak pernah menizinkan kakek untuk mengobroi bersama ibumu dan paman-pamanmu. Kakek bahkan tidak bisa menyentuh mereka. Kakek hanya bisa memperhatikan mereka bermain dari balik sebuah cermin satu arah. Kakek bisa melihat mereka, tetapi mereka tidak bisa melihat kakek”.

Kakek kemudian menghapus air matanya sebentar, tetapi air matanya tetap keluar lagi.

”Kakek selalu membawakan mereka permen setiap minggu. Berharap mereka tahu bahwa itu pemberian kakek. Bahwa kakek tidak pernah meninggalkan mereka. Kakek hanya bisa menaruh kedua tangan kakek di atas cermin itu selama tiga puluh menit penuh. Kakek tidak akan pernah beranjak dari sana selama waktu itu. Karena itu adalah waktu yang diberikan para biarawati. Kakek kadang berharap mereka melihat kakek, dan bahagia melihat kakek.”

Saya tidak berkata apa-apa dan hanya bisa mendengar kakek. Merasakan pedihnya perasaan kakek meski waktu itu saya masih kecil. Saya tidak pernah melihat kakek saya menangis, dan melihat itu, saya pun ingin menangis.

“Satu tahun, kakek tidak bisa menyentuh anak-anak kakek. Kakek sangat merindukan mereka. Kakek mengerti alasan para biarawati itu, bahwa jika mereka melihat kakek, itu akan semakin berat bagi mereka karena setelah itu, kami harus berpisah kembali. Karena itu kakek tidak bisa memaksa para biarawati mengizinkan kakek menemui mereka, anak-anak kakek. Ibumu dan pamanDamanmu.”

Kakek masih menangis. Dia |a|u memeluk saya eraterat. Saya mengatakan kepada kakek kemudian bahwa saya memiliki kakek terbaik di seluruh dunia dan bahwa saya sangat menyayanginya.

Lima belas tahun berlalu setelah itu, dan saya tidak pernah menceritakan kejadian istimewa itu kepada siapa pun. Bahkan ketika kami semua kemudian pindah ke negara bagian yang berbeda. Lima belas tahun berlalu, dan saya tidak pernah menceritakan acara jalan-jalan istimewa dengan Grandpa itu kepada siapa pun. Dari tahun ke tahun kami tetap rajin jalan- jalan, sampai keluarga saya dan kakek-nenek saya pindah ke negara bagian yang berbeda.

Setelah nenek meninggal dunia, kakek mengalami penurunan daya ingat. Saya yakin, itu adalah tekanan yang sangat berat baginya. Saya kemudian memohon kepada ibu agar memperbolehkan kakek tinggal bersama kami, tetapi ibu menolaknya.

Saya merengek bahwa ini adalah kewajiban keluarga untuk memikirkan kakek juga. Ibu lalu sedikit marah, dan membentak, “Kenapa?! Dia sendiri sama sekali tidak pernah peduli pada apa yang terjadi pada kami, anak-anaknya”

Saya kemudian menyadari apa yang ibu maksud, dan berkata, ”Dia selalu memperhatikan dan menyayangi kalian.”

Ibu saya menjawab, ”Kamu tidak mengerti apa yang kamu ndiri bicarakan!” “Hal yang paling sulit bagi kakek adalah ketika harus menaruh ibu, paman Eddie dan paman Kevin di panti asuhan,” kataku lirih, tetapi cukup untuk didengar.

“Siapa yang menceritakan itu?” tanya ibu. Ibu sama sekali tidak pernah menceritakan masa lainnya kepada kami, termasuk ketika dia dititipkan di panti asuhan. Jadi wajar jika dia merasa heran dan bertanya dari mana saya tahu kejadian itu.

“Bu, ketika itu, kakek selalu datang ke sana menjenguk ibu dan paman-paman setiap minggu. Kakek selalu memperhatikan kalian dari belakang cermin satu arah itu. Kakek selalu membawakan permen setiap kali dia datang. Dia tidak pernah satu kali pun absen apapun keadaannya. Dia sangat membenci kenyataan bahwa selama setahun itu sama sekali tidak bisa memeluk ibu dan paman.”

“Kamu bohong!” ibu emosi. ”Dia tidak pernah datang! Tidak pernah ada yang datang menjenguk kamil”

”Lalu bagaimana aku tahu kunjungan Itu kalau dia tidak cerita dan benar-benar melakukannya? Bagaimana aku bisa tahu oIeh-oleh apa yang dibawanya setiap minggu. Dia benar-benar datang. Dia selalu datang. Ibu dan paman selalu menerima Permen. Kenapa hanya pada hari tertentu. Apakah anak yang lainnya menerima permen yang sama juga? Kenyataannya adalah para biarawati itu yang tidak pernah mengizinkan kakek menemui ibu dan paman. Kata mereka, itu akan mempersulit keadaan karena ibu dan paman pasti tidak akan mau berpisah dengan kakek begitu melihat kakek. Padahal kakek harus mencari uang untuk kesembuhan nenek.”

Ibu terdiam.
”Kakek mencintai ibu dan paman-paman. Selalu begitu.” Setelah saya menceritakan kebenaran itu, hubungan kakek dan ibu berubah. Ibu jadi menyadari bahwa ayahnya selalu mencintainya. Keadaanlah yang memaksa kakek menitipkan mereka di panti asuhan. Dan akhirnya kakek tinggal bersama kami sampai akhir hidupnya.

*****

Cinta sering tidak terlihat kasat mata. Bahkan ketika kita ingin melihatnya. Kadang-kadang, cinta pun butuh untuk dijelaskan, baik oIeh dirinya sendiri maupun orang lain. Karena sebuah penjelasan bisa membuat mereka memahami. Itulah kenapa saling berbicara itu penting. Untuk saling memahami daripada menghakimi. Seberapa sering kita menjadi teman bicara orang-orang yang kita sayangi ? Sudahkah kalian membaca dengan cermat kedua kutipan tersebut? Apa yang pertama kalian lihat? ya benar! kover dan identitas bukunya. Apa lagi setelah itu? Kalian akan ikuti penjelasan berikut. Cermati langkah-langkah menyusun ikhtisar!

This Post Has One Comment

Leave a Reply