Aku baru selesai dari kantin bersama Nandan, Hadi, dan Rani. Dilan gak ada. Dilan jarang ke kantin. Aku sendiri juga heran. Kalau benar dia sedang mengejarku, kenapa tidak pernah ke kantin untuk bertemu denganku? Kenapa lebih memilih kumpul bersama teman–temannya di warung Bi_Eem?
Kenapa tidak berusaha bisa duduk di kantin denganku. Bicara denganku. Setidaknya dengan itu, aku bisa tahu langsung darinya, benarkah dia suka ngeganja seperti yang dikatakan oleh Nandan dan Dito?
Benarkah dia itu playboy, punya banyak pacar di mana–mana, seperti yang dikatakan oleh Nandan?
Jika aku ingin tahu tentang Dilan, aku tidak bermaksud mau mengorek kehidupannya. Siapalah aku ini. Dilan bukan pacarku, apa urusanku memikirkan dirl dan kehidupannya. Tapi dorongan untuk ingin tahu lebih banyak tentang Dilan selalu muncul setiap waktu, terutama sejak adanya informasi akan banyak hal buruk tentang dia. Aku gak ingin percaya jika itu baru sebatas cuma rumor, apalagi datangnya dari Nandan. Kalau faktanya memang benar Dilan suka ngeganja, suka mabuk dan playboy, ya sudah itu adalah dirinya, dan mungkin aku akan segera menjauh.
Saat itu bagiku, Dilan memang masih begitu misterius, yang selalu membuat aku penasaran untuk ingin mengenalnya lebih jauh!
Ah, Tuhan! Kenapa aku jadi gini?
–ooo–
Dari kantin, sebelum mau masuk ke kelas, aku berpapasan dengan Dilan. Dia sedang jalan bersama kawan–kawannya. Kutebak, pasti baru datang dari warung Bi Eem.
“Milea!” dia mangil dan lalu mendekat. Kuhentikan langkahku. Sedangkan Nanda, Hadi dan Rani terus berjalan karena aku minta mereka untuk jalan duluan.
“Ya?”
“Boleh gak aku ikut pelajaran di kelasmu lahi?”
Dia senyum. Aku juga.
“Nanti kamu dimarahi lagi.” kataku.
“Gak apa-apa. Aku orangnya siap dimarahi, katanya sambil senyum.
Aku diam. Lalu kutanya dia sambil kupandang matanya.
“Kamu mau bikin aku senang gak?”
Aku nyaris gak percaya bahwa aku bisa nanya kepadanya.
“Iya?”
“Kalau gitu,” kataku. “Ikut mauku,” kataku tersenyum.
“Emang apa maumu?”
“Jangan ikut belajar di kelaku!” kataku sambil aku goyangkan jari telunjukku. Aalinya sih aku suka ada Dilan di kelasku, tapi aku merasa gak enak ke temen-temen Dilan ketawa.
“Oke, kalau begitu,” katanya.
Di saat yang bersamaan, Ibu Sri lewat. Dia mau masuk ke kelasku. Dilan menyapanya dan nanya ke dia:
“Bu, boleh ikut belajar di kelas Ibu?”
“Heh? Kamu, kan, punya jawdaal sendiri.” jawab Ibu Sri. “Ayo, pada masuk! Sudah bel.”
“Siap grak!”
Aku senyum melihat cara Dilan menghormati Ibu Sri, dia tegakkan badannya, lalu tangannya ia tempelkan di jidat. itu benar-benar jadi seperti hormat kepada komandan, atau seperti kepada bendera.
Habis itu, Dilan pergi.
Aku masuk kelas untuk mengikuti pelajaran berikutnya. Itu adalah pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (sekarang PKN), dengan Ibu Sri sebagai gurunya. Ya, aku masih ingat.
Tapi yang lebih aku ingat bukan Ibu Srinya, melainkan kejadiannya, yaitu pada waktu Ibu Sri sedang ngajar menjelaskan materi pelajaran, tiba-tiba papan pembatas kelas bagian sebelah kanan itu roboh, jatuh menimpa ke arah kami. Papan pembatas kelas itu jatuh, menimpa papan tulis dan menggulingkan Presiden Indonesia, Soeharto, dalam bentuknya sebagai foto yang dikasih pigura.
Kami semua kaget, Ibu Sri juga. Dia lari sambil teriak menyebut nama Tuhan: “Allahuakbar!” dan juga menyebut nama salah satu keluarganya: “Mamaaaa” (sejak itu aku tahu Ibu Sri memanggil ibunya dengan sebutan ‘Mama’).
Kami semua lari, berusaha menghindar, karena tahu itu bahaya. Kami lari ke arah belakang bagian kelas.
Dari tempat kami ngunsi, kami menyaksikan sendiri bagaimana papan pembatas kelas itu roboh bersama dua orang yang masih menggantung di atasnya. Dan, Pemirsa saksikanlah bersama-sama, kedua orang itu adalah:
Piyan Dan Dilan!
Aku tidak ingin percaya, tapi itu nyata.
Lalu, bagaimana hal itu bisa terjadi?
Aku dapat penjelasan langsung dari Dilan setelah beberapa bulan kemudian.
Katanya, waktu itu, di kelas sedang tidak ada pelajaran, gurunya tidak datang karena sakit. Dilan dan Piyan, berusaha naik ke pembatas kelas itu, tujuannya untuk mencapai lubang ventilas yang ada di tembok bagian atas.
“Ih! Ngapaiiiin?” kutanya.
“Ngintip kamu, ha ha ha ha.”
“Ha ha ha ha. Kamu jadi beneran masuk ke kelas Ibu Sri.”
“Iya! Ha ha ha. Masuk dengan cara lain.”
“Ha ha ha.”
“Resiko tinggi mencintaimu.”
“Ha ha ha.”
Tapii itulah yang terjadi. Mau gimana lagi.
Wati, temen sekelasku, mungkin dia jengkel. Dihampirinya Dilan, untuk kemudian dia lempar dengan buku pelajaran, sambil ngomong: Maneh wae, Siah” itu bahasa Sunda, kira-kira artinya: “Elu lagi! Elu lagi!”
Dia juga menjewer Piyan: “Maneh deui! Mimilu!” juga bahasa Sunda, kira-kira artinya:
“Kamu juga lagi, ikut-ikutan.”
Dilan tidak melawan. Piyan hanya meringis. Aku langsung ingin tahu siapa Wati sebenarnya?
Kenapa dia berani ke Dilan? Kenapa di berani ke Piyan? Di saat mana, aku merasa yakin orang lain tak akan berani melakukannya. Dan. Kenapa keduanya tidak melawan ketika diperlakukan maca itu oleh Wati?
Selidik punya selidik, ternyata Wati itu tidaklain adalah saudara Dilan. Pantesan! ibunya Wati adalah adik dari ayahnya Dilan.
Ya. Tuhan, kenapa aku baru tahu?
Dilan dan Piyan, lalu dibawa Pak Suripto ke ruang guru dengan cara yang kasar menurutku!
Saat itu, anehnya aku tidak cemas. Anehnya aku percaya, Dilan pasti sudah menghadapinya dengan tenang.
–ooo–
Tapi sejak adanya peristiwa itu, aku tidak pernah melihat Dilan selama dua hari, di lingkungan sekolah dan di mana pun.
Mungkin, dia sakit. Mungkin, dia diskors. Aku tidak tahu dan aku ingin tahu ke mana. Tapi bingung harus bertanya ke siapa? Nanya ke Nanda atau Rani, khawatir mereka akan menyangka yang bukan-bukan. Nyangka aku perhatikan atau apalah, merkipun iya begitu, tapi jangan sampai mereka tahu.
Jadi?
Ya, aku bingung. Gak ada jalan lain rasanya. Aku cuma bisa berharap aku akan tahu dengan sendirinya.
–ooo–
Keinginanku bisa ke kantik berdua dengan Wati, akhirnya kesempatan. Di kantin, ada Nanda, Rani, dan Jenar yang ingin gabung makan satu meja dengan kami, tapi kubilang aku ada urusan ada Wati. Untung mereka bisa negerti. dan kemudian pada duduk di meja lain.
Pasti kamu tahu tujuaku ngobrol dengan Wati. Meskipun malu, harus kuakui, bahwa dari Wati aku ingin dapat informasi lebih banyak tentang Dilan. Setidaknya Wati itu saudaranya, pasti lebih banyak tahu tentang Dilan dibanding orang lain.
Maksudky, aku ingin jelas menyangkut tentang banyak informasi buruk yang kudapat tentang Dilan. BUkan mau ikut campur. Aku mengerti, hidup Dilan adalah ususannya. Bagaiamanpun dirinya, apalah urusanku dengan dia. Aku tahu bukan siapa-siapanya. Aku bukan pacarnya.
Apakah aku normal kalau aku ingin tahu semua hal tentang Dilan? Kalau enggak, biarin, deh, gak normal juga. Aku duduk berdua Dengan Wati, agak di dekat jendela. Aku merasa harus hati-hati, jangan sampai Wati tahu tujuan asliku ngobrol dengan dia.
Setelah ngobrol tentang hal ini yang kuanggap gak penting, aku mulai berusaha mengarahkan pembicaraan supaya membahas pada pokok yang kumaui:
“Eh, ngomong-ngomong, kemarin, waktu Si Dilan jatuh: kamu lempar dia pake buku, kok kamu berani, sih?”
“Oh? Ha ha ha. Berani, lah!” jawab Wati, “Habisnya kesel. Dia itu nakal tau? Di rumahnya juga begitu!”
“Kamu saudaraan, ya?”
“Iya. Ibuku adik ayahnya.”
“Oh, pantes!” kataku. “Kaget aja, pas lihat kamu berani mukul dia, ha ha ha.”
“Ha ha ha. Kesel,” jawab Wati. “Nakal dia itu.”
“Nakal gimana?”
“Ah, banyak!” kata Wati. “Pernah, tuh, waktu malam minggu, kapan, ya, pokoknya dia motong ayam ibuku. Diambil di kandang gak bilang-bilang.”
“Oh, ya?” Aku senyum.
“Disate tau gak?! Dimakan sama temen-temennya di belakang rumah dia!”
“Ha ha ha. Mabuk-mabukan, ya?”
“Enggak, lah!”
“Taunya enggak?”
“Tau aja.”
“Ngambil ayam ibu kamu?” “Kok, berani?”
“Pas ditegur ibuku, dia bilangnya salah ngambil. Gelangnya gak kelihatan katanya.”
“Ha ha ha.”
“Padahal, kamu tau gak? Ayahnya itu galak,” kata Wati. “Ayahnya tentara.”
“Oh? Ya?!”
Aku nyaris terpengaruh mendengan bahwa ayahnya Dilan adalah juga tentara.
“Iya.”
“Cabang apa?”
“Gak tau, tuh,” jawab Wati. “Gak ngerti.”
“Ooh …”
“Nakal banget dia itu.”
“Si Dilan pasti pacarnya banyak, tuh!” kataku.
“Ah, siapa? Gak punya pacar dia mah. Terlalu cuek ke cewek!”
“Mungkin masih lebih suka main sama kawan-kawannya.”
“Iya, kali.”
“Emang belum punya pacar?”
“Gak tau, tuh, “jawab Wati, “Eh, kok, jadi ngomongin Si Dilan, sih?!”
“Iya,” kataku, pura-pura sama baru menyadari hal itu. Padahal masih banyak yang ingin kutahu tentang Dilan. termasuk kenapa dia tidak pernah kulihat selama dua hari ini, tapi gak jadi karena kuatir Wati akan curiga kenapa aku bertanya soal itu.
–ooo–
Nah, kalian telah membaca bagian dari novel Dilan, tentunya kalian telah mendapatkan pelajaran dari novel tersebut, kalian dapat memetik pelajaran yang terjadi dalam kehidupan tokoh Dilan. Dalam kehidupan sehari-hari banyak yang diambil dari nilai-nilai dari novel tersebut.
Pingback: Ringkasan Novel - EcoHepi
Pingback: Ringkasan Novel – HepiDev